Tampilkan postingan dengan label Cerita Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Fiksi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 September 2013

MUSIM DINGIN

Perempuan itu kini mendapatkan apa yang telah lama hadir dalam mimpinya. Ia berjalan sambil bersenandung. Dihirupnya wangi dingin di sekitarnya. Dipandanginya bangunan-bangunan kokoh yang selalu ia lihat dalam mimpi. Sebetulnya itu bukan mimpi menyenangkan.

Kamis, 27 September 2012

Puisi Cinta

Petang tadi ada acara baca puisi di kampus. Kukira puisi-puisi yang rada "kece" gitu. Eh, ternyata puisi-puisi galau tentang percintaan ala mahasiswa. Hehehe...tapi, bagus juga, kok, aku jadi terbawa galau. Nulis puisi juga, deh. Jangan ketawa, ya.

Cinta.

Aku manusia
bisa jatuh cinta
aku tidak bisa mengiranya
karena telah kupendam dalam hitungan warsa

Sudah takterkira takterhingga
kuibaratkan saja seperti serigala
cintaku terlalu besar karena terlampau lama
jadi sebuas dan seganas serigala

Serigala itu terikat tali
ujungnya di tanganmu, ujung lain di tanganku
diam saja, jangan bergerak

Kita tidak akan berdekatan
tapi tidak boleh berjauhan
Jika kita terlampau berjauhan
tali akan menjerat serigala mengantarnya ke alam baka
serigala mati, cintaku mati

Kita tidak akan berdekatan
tapi tidak boleh berjauhan
Jika kita berdekatan, tali akan kendur
serigala akan memangsa aku, kau, dan mereka

Kita tidak berdekatan
tapi tidak boleh berjauhan
atau akan ada yang terluka

Rabu, 05 September 2012

Senja di Beranda


Rumah ini punya dua teras. Tidak sejajar letaknya karena yang satu menjorok ke belakang dan lebih sebagai ruang keluarga. Rumah ini terletak di tengah-tengah rumah para tetangga. Sebenarnya tidak ada jalan keluar kecuali tanah sempit yang katanya ada atas belas kasih seorang warga. Tanah sempit macam celah itu kini diberi pagar besi dan digembok. Padahal rumah berpagar saja aku tidak suka. Apalagi ini, membuat kami seperti tahanan.

Jendela Dia

Sampai Dia dewasa, sampai Dia tiada; aku masih diam di sini. Statis tidak bergerak dengan ingatan masa lalu yang jelas. Inilah takdir. Masa lalu memang sudah berlalu. Masa lalu selalu lebih indah jika telah berlalu. Kenangan. Kadang aku bertanya apa orang yang kita kenang mengenang kita pula. Hatiku akan hancur bila mengakui bahwa kenangan sifatnya subjektif. Tidak selalu yang kita kenang adalah kenangan berharga pula bagi orang lain. Tapi memang begitu adanya. Apalagi bila menyangkut orang yang kita sayangi.
Apalah arti yang tengah aku rasakan? Suatu yang abstrak tapi nyata. Suatu yang kuketahui bahwa ini terkadang berasal dari sensasi yang sengaja dirasa. Cinta? 

Sabtu, 01 September 2012

Dia: Yang Pertama

Kau bisa menebak, kan, apa itu "yang pertama"? Aku takut menyebut kata itu. Bagiku sakral, tidak boleh banyak diucap. Banyak diucap hanya jadi pasaran dan tak bernyawa.

Dia yang pertama. Pertama yang bisa membuatku mampu mengenangnya dengan rasa bahagia. Yang mampu membuatku selalu mendoakannya. Aku mungkin gila. Tidak tahu. Yang pasti emosi ini meluap. Seharusnya, bisa kupendam dan kuhilangkan, tapi tak semudah itu.

Dia. Dia. Dia.

Kau tahu, dia pergi lagi ke negri seberang. Terserahlah. Aneh. Dia terlihat sungguh bahagia di sana. Mungkin, di sana tempatnya, bukan di sini. Tapi, tempatku di sini. Apa aku ingin bersamanya? Tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya rindu. Rindu dia yang dulu. Aku ingin dengar ceritanya tentang negri seberang. Aku hanya ingin kami menjadi teman yang senantiasa berbagi cerita meski kami tidak sedang bersama-sama. Emosi apa ini? Tidak tahu.

Kami makin tidak bertegur sapa. Kami sempat berbincang. Sedikit sekali. Mungkin, dia sudah membaca. Dan, mungkin, dia tidak menginginkan hal yang sama. Biar saja dia punya pilihan.

Dia: Kami Berpisah (Lagi)

Kami sama-sama lulus sekolah menengah.

Sudah lama aku ingin berada jauh dari orang tua. Aku ingin merantau dan mandiri. Benar saja, aku diterima di sebuah universitas terfavorit di negriku. Sangat jauh dari orang tua. Banyak hal yang harus kuperjuangkan hingga aku bertahan di universitas ini, tapi tidak saatnya aku menceritakannya.

Ya, kami berpisah meski tanpa kata karena kami memang tidak pernah bertegur sapa. Namun, bagiku aku serasa terpisah dari dia. Tidak lagi bisa mencuri pandang atau sekadar mencuri dengar. Aku sedih, tapi aku juga senang. Aku berkata dalam hati, "Semuanya akan berakhir. Rasaku hanya sementara. Tidak lagi perlu berduka."

Aku senang dia kuliah di bidang yang dia sukai. Saat itu, ini terasa lebih menenangkan daripada keberhasilanku diterima di universitas yang kata orang "terbaik" di negri ini. Aku tidak pernah peduli. Aku hanya ingin jauh dari kotaku, terlebih dari dia.

Jangan tanya tentang cita-cita. Dulu, aku ingin jadi dokter. Aku selalu kagum dengan ilmu pengetahuan alam, tentang gunung, tentang laut, tentang langit, tentang angin, tentang batu, tentang binatang, tentang bunga, tentang manusia. Tentang Tuhan? Aku tidak terlalu mempermasalahkan. Aku percaya Tuhan, menyembahnya dengan cara Islam. Itu saja. Aku membaca Tuhan pada alam. Memang, aku tidak kuliah di kedokteran, tapi suatu hari kau akan bisa lihat aku tetap bisa berkecimpung di dunia ini karena aku tidak pernah lupa apa yang aku inginkan. Aku akan menemukan jalan.

Aku suka bahasa. Bahasa itu menyimpan misteri. Bahasa menyimpan segalanya. Dan, bahasalah yang seharusnya mampu mempertemukan aku dan dia. Dan, dia seharusnya tidak melupakan bahasa kami. Dan, seharusnya aku mengajarkan bahasaku padanya.

Aku kuliah di jurusan bahasa. Diejek memang, tapi biarlah.

Baiklah, aku, kan, ingin bercerita tentang dia. Dia dan aku berpisah sampai sekarang. Ternyata, semua perkiraanku melenceng. Yang kupendam makin kupendam. Salahku, justru makin keperam hingga semuanya menjadi sulit bagiku.

Dia: Aku Sungguh Malu

Hanya kau saja, kan, di sini? Aku tak perlu malu-malu padamu.


Dia. Kami tidak pernah bertegur sapa. Entahlah. Seharusnya, dia temanku. Temanku yang dulu. Dia kembali. Seharusnya, dia menemuiku dahulu. Bercerita pertama kali denganku. Bercanda pertama kali denganku.

Apa kau pernah merasa kehilangan teman? Seperti itulah rasaku dahulu. Aku ingin dengar ceritanya dari negri seberang agar aku juga bisa ke sana. Tapi, mana? Dia tak kunjung datang. Dia banyak sekali teman meski bukan aku.

Aku jadi malu tiap berpapasan dengannya. Aku hanya menunduk atau membuang muka. Biarlah, aku menyimpan rasa untuk sendiri saja. Aku hanya mencoba menepis dan berulang kali berkata, "Ah, aku hanya sedang puber. Ini hanya sebentar. Nanti juga lupa."

Ini memalukan.


Dia: Pertemuan Kembali

Aku akan melanjutkan cerita, semoga kau tidak tertawa.

Siapa sangka aku akan bertemu lagi dengannya. Merindukannya saja sepertinya aku tidak pernah. Iya, aku sudah lupa. Dia hanya teman biasa. Satu teman pergi, aku dapat teman lagi. Dia tidak berarti apa-apa.

Dia datang ke negri ini lagi, tapi berada jauh dariku. Kabarnya selalu sampai ke telingaku. Mengapa? Selalu ada yang menghubungkan kami, tapi tak perlu kuceritakan. Awalnya, aku merasa biasa. Ya, aku ingat dia, tapi tanpa rasa. Biasa saja. Ya, kami pernah bersama, tapi biasa saja.

Begitulah, sampai suatu hari aku bertemu dengannya. Masih biasa saja. Ya, aku ingat. Dia menyapa dengan senyum, aku pun demikian. Dia tidak berkata, aku pun demikian. Seperti katanya dulu, dia akan lupa pada bahasa kami.

Tiga tahun berlalu, dia datang lagi ke kotaku. Kami diterima di sekolah yang sama. Andai kau tahu bagaimana dulu dia tampak sangat menyebalkan. Dia begitu populer. Rupawan mukanya mungkin. Semua orang membicarakannya, "Hei, lihat, itu si ini. Dia yang dari negri seberang. Keren, bukan?".
Kataku dalam hati, "Hei, apa peduliku dengan semua itu."

Tapi, aku ingat, dia pernah menyapaku. Menyapaku dengan namaku yang dahulu. Entah. Aku sungguh malu.

Dia: Kami Hanya Teman

Hai...ingin meracau saja hari ini. Aku ingin cerita tentang dia. Agak rahasia, tapi biarlah. Toh, di sini hanya ada kau saja.

Dia. Berulang kali aku berkata pada diri sendiri, pasti aku sudah gila. Bertahun-tahun aku bertanya mengapa selalu dia yang ingin kulihat. Mengapa selalu dia yang ingin kudoakan. Mengapa selalu dia yang ingin  kuceritakan. Apakah aku ingin bersamanya? Ah, tidak juga. Atau, aku belum menginginkannya. Aku hanya ingin dia baik saja, makin dewasa, bertemu dengan teman yang tepat, dan menjadi orang yang sadar akan dirinya.

Ah, kau sudah menebak. Memang gampang ditebak. Bukan galau hanya ingin bercerita.

Kapan aku mengenalnya, aku sudah lupa. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu kami bermain bersama. Dia bercerita dengan lagak jumawa bahwa dia akan pergi. Oh. Aku tidak ingat rasanya. Mungkin juga karena dia memang bukan orang yang berarti bagiku. Hanya teman bermain biasa. Dia pergi, aku dapat teman lagi.

Aku ingat hari itu. Aku bertanya apakah dia akan kembali. Ya, dia bilang dia akan kembali. Aku bertanya apakah dia akan mengingat bahasa daerah kami. Dia bilang, mungkin tidak ingat lagi karena dia akan pergi lama ke tempat yang jauh dan asing. "Ajari aku bahasa asing itu", mintaku. Ya, dia mengajariku meski aku tahu itu bahasa karangannya yang lebih buruk dari racauan orang gila.

Itu saja yang kuingat. Tentu saja, pasti karena dia tidak berarti apa-apa.

Senin, 09 Januari 2012

CATATAN HARIAN SEBUAH BUKU HARIAN (FIKSI bagian 2)




Aku harus menulis masa depan.

Laras hanya menulis kalimat itu hari ini lalu berhenti berjam-jam sampai aku pun bosan menunggu. Aku senang. Itu artinya aku akan mendengar mimpi-mimpinya. Cerita tentang besok selalu menyenangkan daripada cerita tentang hari ini. 
Aku masih menunggu. Sedikit lama. Mungkin susah bagi manusia untuk menceritakan hari esok daripada hari ini.

CATATAN HARIAN SEBUAH BUKU HARIAN (FIKSI bagian 1)



Aku hanyalah buku harian. Tidak benar bahwa aku mengetahui semua peristiwa, pikiran, dan isi hati orang yang memilikiku. Tuanku, ah, kusebut saja temanku, Laras, bahkan selalu merobek apa yang ia tulis di tubuhku. Kadang mencoret-coret sampai tak terlihat tulisannya lagi. Aku juga selalu lupa apa yang ia ceritakan kemarin karena ia selalu membuang lembaranku yang ia tulisi. Aku hanya buku yang terdiri dari lembaran-lembaran. Satu saja bagian diambil dari diriku, aku tidak dapat bercerita dengan utuh. Dan cerita, bagiku memang tidak pernah dapat disampaikan dengan sempurna.
***

Sekarang aku baru dapat memahami sesuatu setelah peristiwa itu sudah lewat. Lalu tiba-tiba aku ketakutan dan sedih, padahal kejadian itu adalah masa lalu. Ada yang tidak peduli masa lalu memang, katanya, entah, tapi bagiku masa lalu adalah bagian dari hidupku sekarang. Aku selalu menjadi orang yang menyalahkan masa lalu atas kesulitan-kesulitanku masa sekarang. Tapi bagaimana. Adakah yang paham. Bagaimana jika kau yang masih kecil melihat yang tidak seharusnya kau lihat. Mendengar apa yang seharusnya tidak kau dengar. Menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak kau tanyakan.
Aku tidak percaya pada siapapun di dunia ini kecuali diriku sendiri. Aku tidak mau menceritakan apapun yang aku tahu karena orang lain tidak akan mengerti diriku. 
Betapa sulitnya memahami cinta dan bagaimana membedakannya dengan derita, lalu belajar memanipulasi bukan memaafkan. Bagaimana jika kau selalu dan selalu dianggap dewasa padahal kau hanya merasa anak kecil yang justru ingin dibuai dalam kenyamanan yang selalu didukung, bukan dirongrong. Bagaimana jika ada seseorang selalu membuatmu tertekan melibatkanmu dalam permainan logika dan perasaan. Tapi, kau tidak bisa membencinya karena kau merasa sayang padanya. 
***

Laras masih diam merenungi dirinya sendiri. Jika kau mengenalnya, kau akan langsung menebak bahwa dia memang gadis yang sombong. Aku tahu karena aku buku hariannya. Kau bisa lihat dari tulisannya hari ini. Tapi, sayangnya, dia tidak menginginkan diriku dilihat siapapun. Hati-hati, dia juga pandai memanipulasi. Termasuk memanipulasi kesedihan dan masalahnya yang selalu ia anggap tidak ada. Aku juga tidak tahu bagaimana menolongnya. Mencoba berteman? Bisa. Membuat ia bicara? Bisa. Membuat ia tertawa? Bisa. Marah? Menangis? Masih mungkin. Tapi, kurasa ia tidak bercerita banyak dengan jujur. Dia memang gemar memaafkan lalu menyalahkan diri sendiri. Ia mudah kagum pada orang lain, tapi tidak pernah memuji dirinya sendiri. Aku sayang padanya. Sampai sekarang, aku tetap berdoa agar aku tidak dibuang dan terus bisa menemaninya dan mendengar ceritanya.